SEMBILAN
RIO membuka pintu rumahnya, lalu melangkah masuk. Tahu-tahu ia menginjak sehelai kertas. Ia memungut kertas itu dan membacanya.
Besok jam 10 gue tunggu lo di depan Taman Menteng.
Rio menatap kertas itu dingin, lalu meremas dan melemparnya sebarangan. Ia melepas tas dan meletakannya beserta tongkat baseball di atas meja, kemudian mengambil botol air mineral dan meneguk isinya.
Surat itu adalah tantangan atau mungkin undangan yang kesekian dalam bulan ini. Rio tak pernah memedulikannya. Ia tak suka bertemu orang-orang asing. Ia tak ingin masuk lingkungan baru. Ia juga tak berminat untuk jadi ketua atau anggota geng apa pun lagi. Mengurusi satu geng sekolahnya saja sudah sangat melelahkan.
Rio merebahkandiri di atas sofa yang berdebu dan sobek di sana-sini, lalu memejamkan mata. Surat itu tidak ditulis oleh orang yang sama. Tulisan tangannya selalu berbeda-beda, tapi tidak pernah ada nama pengirim. Walaupun demikian, Rio sudah bisa memprediksi siapa saja yang menulisnya. Orang-orang yang bisa jadi sangat merepotkan kalau Rio meresponnya.
Rio lantas teringat Ray, anak yang pernah akan ia pukul dan dibela oleh Ify. Anak itu kedapatan memakai ganja ditoilet oleh anak buah Rio yang lain. Rio tidak akan pernah memaafkan anak itu karena sudah mengkhianatinya.
Rio terduduk. Darahnya mendidih kalau mengingat benda yang satu itu. benda yang sudah membuat hidupnya berantakan. Benda yang seumur hidup tidak akan pernah disentuhnya walaupun semua orang sudah memakainya. Benda yang akan membuat seluruh anak gengnya mati di tangannya kalau kedapatan menggunakannya.
Rio tidak peduli jika ia dibilang pemimpin geng banci. Ia justru akan membunuh siapa pun yang berani mengatakannya. Ia tidak merasa menggunakan narkoba membuatnya lebih jantan. Justru yang memakainyalah yang banci, yang hanya bisa lari dari kenyataan, persis seperti seseorang yang pernah ada dihidupnya.
Rio membuka kemeja, gerah karena pikirannya. Mendadak ia teringat sesuatu. Sesuatu yang membekas di raga, dan juga hatinya. Sesuatu yang tidak ingin diingatnya lagi.
Rio bangkit menuju dapur untuk mengambil botol air mineral lagi. Ia bisa gila kalau lama-lama memikirkan ini.
Saat ia sedang meneguk isi botol keduanya, pintu rumahnya tahu-tahu menjeblak terbuka. Rio memicingkan mata untuk mengenali bayangan di depan pintu sambil perlahan meraih tongkat baseball.
Detik berikutnya, jantung Rio serasa berhenti berdetak. Matanya tak bisa berkedip. Ia sama sekali lupa bernapas. Botol air mineral yang dipegangnya sudah jatuh dan menggelinding. Rio tak bisa menggerakan satu syaraf pun saat mengenali sosok tinggi besar yang muncul dari pintu
“kamu tidak mau menyapa saya, setelah tiga tahun lebih nggak ketemu?”tanya ayahnya dengan suara serak. Rio sendiri masih membatu di tempatnya berada.
Ayahnya masuk dengan langkah terseok, melepas jaketnya, dan melemparnya sembarangan bersama sebuah ransel buluk. Ia lalu menatap Rio yang menggenggam tongkat baseball.
“kamu bahkan nggak pernah menjenguk saya”kata ayahnya lagi, dingin
“kenapa..”Rio tercekat. Ia tidak tahu ayahnya akan dibebaskan secepat ini
“karena saya berkelakuan baik selama disana”jawab ayahnya sambil tersenyum sinis. Ia lantas bergerak mendekati Rio. Rio mempererat genggamannya pada tongkat walaupun tubuhnya gemetar
“kenapa? Kamu nggak senang saya bebas lebih cepat?”
Rio melirik ayahnya yang sekarang sedang melepas ikat pinggang. Mata Rio melebar. Keringat dingin sudah mengalir di sekujur tubuhnya.
Saat ikat pinggang itu sudah tercabut, Rio berderap ke arah pintu. Ia tidak peduli ayahnya yang menyumpah karena tertabrak dengan keras. Ia tidak ingin berada di rumah itu bersamanya.
Rio bahkan masih tidak bisa mempercayainya. Ayahnya, yang divonis hukuman lima tahun penjara, sudah bisa bebas dalam waktu tiga tahun saja. Rio tak pernah menduganya. Semua rencana Rio untuk segera pergi jauh setelah lulus SMA sekarang berantakan.
Rio berhenti berlari, lalu terduduk lemas di sebuah bangku taman. Ia menjambak rambutnya keras-keras
“sialaaannnn!!!!!!”serunya sekuat tenaga, membuat beberapa orang yang lewat berjengit dan segera menghindar. Rio memuku-mukul dahinya sendiri, menyesali segalanya.
Di saat ia pikir hidupnya sudah membaik.
***
Ify menatap ragu bangunan sekolahnya yang sudah gelap. Ia menoleh ke kanan dan kiri, tapi tidak ada siapa pun. Ify menggigit bibir, lalu memberanikan diri untuk melangkah masuk.
Ia mengutuk dalam hati dirinya sendiri yang lupa meletakan ponsel. Kalau bukan karena ayahnya yang bisa saja menelpon dan khawatir, ia tidak akan repot-repot menantang maut seperti ini.tadi, ia bahkan rela berhenti satu kilometer dari sekolahnya agar sopir taksi tak bertanya macam-macam.
Ify mengintip kelasnya yang gelap, lalu meraba-raba dinding untuk mencari saklar. Setelah lima menit meraba dinding yang penuh debu, ia menemukannya juga. Ia cepat-cepat menyalakan lampu, lalu melesat ke bangkunya. Ia merogoh laci meja dan menghela napas lega saat ponselnya masih ada disana.
Ify berbalik, bermaksud untuk cepat-cepat pergi, tapi ia tak sengaja melihat sesuatu dipojok belakang kelasnya
“huaaa!”jeritnya, refleks menutup mata dan telinga, menyangka yang dilihatnya adalah sejenis makhluk gaib.
“hoi”kata makhluk itu, membuat Ify mau tidak mau mengintip. Tidak ada makhluk gaib yang menyapanya.
Ify langsung melongo saat melihat makhluk yang disangkanya gaib ternyata Rio. Ify tak berkedip untuk beberapa saat, bingung dengan apa yang dilakukan Rio di kelas yang gelap seperti ini
“Rio?” Ify memicing “ngapain lo?”
Rio tak menjawab. Ia hanya menatap Ify datar. Lalu tersenyum lelah
“bertapa” jawabnya singkat. Ify tak langsung memercayainya “lo sendiri?”
“ngambil ini, ketinggalan”Ify menunjukan ponselnya. Rio hanya mengangguk-angguk. Ify menatap Rio yang tampak kacau, lalu menghampirinya “ada apa, Yo?”
Rio menatap Ify lama, tampak menimbang-nimbang. Ify sendiri berhenti melangkah begitu melihat tongkat baseball Rio masih setia di sampingnya. Ify punya sejarah buruk dengan tongkat itu
“lo serius mau tau?”tanya Rio, tidak terdengar marah. Ify menggigit bibir. Rio kadang ramah, tapi ia juga sering hanya menggodanya. Tapi di luar kesadarannya, Ify mengangguk. Rio tersenyum simpul “gue mau ngasih tau lo, tapi setelah itu lo harus gue bunuh”
Rio mengatakannya dengan sangat serius, membuat Ify refleks menutup kedua telinganya. Rio lantas terbahak melihat Ify yang ketakutan
“bercanda”kata Rio di sela tawanya. Membuat Ify menatapnya sengit.
“gimana gue bisa tau kalo lo Cuma bercanda?”katanya kesal membuat Rio berhenti tertawa
“lo nggak tau, kecuali gue bilang begitu”kata Rio tajam. Ify sadar kalau ia tidak boleh membuat Rio kesal sekarang. Rio tampak begitu labil.
“oke, gue nggak mau tau”kata Ify kemudian “ayo kita pulang”
Rio menatap Ify tak percaya, lalu terkekeh
“kenapa ketawa? Udah malem loh”Ify melihat sekeliling waspada “lo nggak takut ada..makhluk gaib?”
Tawa Rio semakin menjadi-jadi mendengar kata-kata Ify. Baru kali ini Rio tertawa lepas dalam beberapa tahun terakhir. Ify sendiri menatap Rio bingung. Rio lantas berusaha menghentikan tawanya
“duduk sini, temenin gue”Rio menepuk-nepuk lantal di sebelahnya. Ify menatap lantai itu ragu, tapi Ify juga takut dilempar tongkat kalau menolaknya.
Ify akhirnya duduk di depan rio. Rio tampak tersenyum-senyum simpul, membuat Ify merinding
“mau..ngapain?”tanya Ify pelan saat Rio mencondongkan tubuh padanya
“masa lo nggak ngerti sih?”Rio balas bertanya. Ify tau jantungnya sudah berdegup kencang. Ia sering melihat adegan semacam ini di serial remaja Amerika.
“jangan!”Ify segera mencengkram kancing blusnya sendiri. ia belum siap untuk ini. tahu-tahu ia mendengar rio terpingkal-pingkal. Ia menatap anak laki-laki itu sebal “lo kok suka banget sih ngegodain gue!”
“salah sendiri lo imut”kata rio setelah puas tertawa. Ia lalu menatap Ify lekat-lekat. “entah apa lo pinter akting, atau lo bener-bener polos, sampe sekarang gue nggak tau”
“gue belum pernah pacaran”kata Ify membuat Rio tak berkedip
“dan gue masih perjaka ting-ting”timpal Rio, lalu terbahak. Ify sendiri hanya menatapnya tanpa reaksi, membuat tawa Rio berhenti. Rio berdehem sebentar, kemudian menatap Ify serius “serius lo?”
Ify mengangguk, membuat rio menatapnya tak percaya.
“jadi...lo udah nggak.. perjaka?”tanya Ify, sementara Rio masih sibuk dengan pikirannya sendiri
“yah, siapa sih di sekolah ini yang masih?”jawabnya cuek, membuat Ify menggigit bibir, tidak tahu apa yang membuatnya kecewa. Padahal Ify sadar benar kalau Rio adalah playboy sekolah ini.
“oh gitu..”gumam Ify, berusaha sebisa mungkin untuk tidak terdengar kecewa
“tapi kalo dipikir-pikir mungkin ada”Rio menatap Ify yang tampak ingin tahu “ketua OSIS kesayangan lo itu”
“Gabriel?”tanya Ify. Tapi ia sendiri tidak pernah mempertanyakan Gabriel
“kalian cocok kalo gitu”kata Rio sinis”pasangan virgin. Fantastis”
Ify menatap Rio sebal. Rio mengatakannya seolah menjadi virgin adalah hal yang memalukan
“apa salahnya virgin? Gue bangga”kata Ify membuat Rio terkekeh
Ify memperhatikan Rio yang sudah kembali menerawang. Ify lantas teringat sesuatu
“ngomong-ngomong, kemarin itu, antara lo sama Gabriel.. ada apa sih?”tanya Ify hati-hati. Sesuai dugaannya, Rio sekarang menatapnya tajam. Ify menggigit bibir”gue.. harus dibunuh setelah lo kasih tau?”
Rio mendengus, lalu menyandarkan punggung ke tembok”apa yang dia bilang sama lo?”
“dia nggak bilang apa pun”jawab Ify cepat
“oh ya? Gue pikir dia udah curhat segala macem sama lo”kata Rio, membuat Ify mengangkat alis. Rio menatapnya lagi “dia bilang, kami pernah satu SMP?”
“kalian temen SMP?”ulang Ify tak percaya
“bukan temen. Pernah satu SMP”tukas Rio, terdengar kesal. Ify mengangguk-angguk pelan. “yah, intinya, dia itu pengkhianat”
Ify menatap Rio yang tampak memijat dahi
“kalian dulu berteman, kan? Tapi sekarang nggak lagi?”tanya Ify membuat Rio mendelik “kenapa?”
“lo nggak denger gue?”bentak Rio, membuat Ify segera menutup mulut”dia berkhianat, dan gue nggak bisa terima itu. dan dia bukan temen gue”
Rio kembali memijat dahinya keras-keras. Denyutannya semakin menyakitkan “apa yang dia lakukan sampe lo semarah ini?”tanya Ify lagi, membuat Rio menatapnya tidak sabar
“lo bener-bener bego ya?”seru Rio membuat Ify tersentak “gue kasih tip aja buat lo. Kalo lo nggak mau mati muda, jangan banyak tanya!”
Ify menunduk, lalu mengigit bibir untuk menahan tangis, Rio meliriknya, lalu menghela napas
“sori”katanya, membuat Ify mendongak, heran dengan mekhluk di depannya itu.
“hebat banget ya”kata Ify takjub “mood swing lo”
Rio menatapnya kesal sesaat, lalu berdecak
“jangan ngomong pake bahasa Inggris di depan gue”katanya sambil membuang pandangan. Ify nyengir sendiri melihat tingkah Rio
“oke”kata Ify manis membuat Rio meliriknya. Rio memperhatikan Ify sebentar. Tiba-tiba, ia ingin mencoba sesuatu.
“lo tau tentang bokap gue?”tanya Rio membuat Ify menggeleng “bokap gue napi”
Ify menatap Rio sesaat.
“oh”komentarnya kemudian, membuat Rio melongo
“lo ngerti kan apa arti napi?”tanya Rio lagi, heran dengan reaksi anak perempuan di depannya ini
“narapidana kan?”kata Ify “karena apa?”
“narkoba”jawab Rio walaupun masih bingung. Ify mengangguk-angguk simpati
“terus nyokap lo?”tanya Ify santai, seolah Rio sedang bercerita tentang silsilah keluarganya
“kabur”sambar Rio tak sabar “lo nggak mau ngomong apa-apa soal bokap gue?”
“ngomong apa?”Ify balas bertanya, bingung
“nggak tau. hal yang biasanya orang omongin sama anak napi, kayak misalnya, anak napi itu udah pasti mewarisi kejahatan orangtuanya?”kata Rio membuat Ify tambah bingung
“kenapa gue harus ngomong kayak gitu?”
“karena gue anak napi!!”sahut Rio emosi. “lo normalnya nggak mau deket-deket sama anak napi, kan?”
“hah? Kenapa harus gitu? Lo anak napi bukan berarti lo juga napi, kan?”
Rio terdiam untuk beberapa saat, lalu mulai tertawa hampa dan kembali menyandarkan tubuh ke tembok. Ia menatap Ify nanar
“kenapa lo nggak pindah kesini tiga tahun lalu?”gumamnya, membuat Ify mengerutkan kening. Ia tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Rio.
Rio menyeka wajahnya, berusaha untuk menghilangkan amarahnya. Anak perempuan di depannya itu sudah membuatnya hampir gila.
“Yo, ini yang bikin lo jadi kayak sekarang?”tanya Ify hati-hati “gara-gara ini lo jadi pemarah kayak gini?”
“menurut lo?”Rio balas bertanya “dan lo tau siapa yang paling bertanggung jawab?”
Ify menggeleng pelan
“ketua OSIS lo itu”kata Rio, rahangnya mengeras “ketua OSIS lo yang belagak pemenang nobel perdamaian itu”
Ify menatap Rio tak percaya “Gabriel?”
“dia yang bikin gue kayak begini’kata Rio lagi “dan seakan belum cukup mengkhianati gue di SMP, dia pindah kemari dari SMA unggulannya, jadi bintang pemegang ranking pertama, pemenang lomba, ketua OSIS, idola cewek-cewek.. dia belum cukup liat gue hancur! Dia masih mau nginjek gue!”
Ify menatap Rio tak percaya. Ia tidak pernah berpikir Gabriel bisa melakukan hal-hal seperti itu.
Rio menatap Ify sinis “apa? gue menghancurkan image pangeran pujaan lo?”
“gue.. Cuma..dia bukan pangeran pujaan gue”Ify tergagap, membuat Rio terkekeh
“ganteng, kaya, pinter.. dia bukan pangeran pujaan lo? Gue percaya”komentarnya, masih belum kehilangan nada sinisnya
“lo bisa bilang gue cewek aneh”kata Ify, jantungnya mendadak berdegup kencang “tapi.. gue punya kecenderungan tertarik sama cowok brengsek”
Rio terdiam untuk beberapa saat. Ia menatap anak perempuan di depannya itu tanpa berkedip sementara Ify membalasnya berani. Ify tidak tahu kalau Rio sekarang sedang mati-matian berusaha menahan segala keinginan untuk menerkamnya.
Tahu-tahu terdengar suara ganjil memecah keheningan. Ify buru-buru memegang perut sambil menatap Rio malu-malu. Rio bengong sesaat, sejurus kemudian tawanya menyembur dan tak bisa dehentikan untuk beberapa menit. Ify sendiri menatapnya sambil cemberut
“ehem..sori”kata Rio setelah puas tertawa. Ia menatap Ify, masih dengan sisa-sisa senyum di bibir “lo bener-bener deh.. polos”
Ify terdiam sebentar, lalu mengedikan bahu
“gue anggep sebagai pujian deh”katanya sambil bangkit dan menepuk-nepuk jeans-nya yang kotor. Ia lalu mengulurkan tangan kepada Rio “ayo pulang”
Rio menatap tangan itu sebentar, kemudian meraihnya, bermaksud untuk berdiri dengan menumpukan berat badannya pada Ify. Ify yang tidak siap malah tertarik ke arah Rio dan tenpa sengaja memeluknya. Saking dekatnya, Ify sampai yakin ia bisa mendengar detak jantung Rio
“lo harus makan dulu”bisik Rio membuat Ify tersadar dari khayalannya. Ify segera mundur beberapa langkah sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga, salah tingkah. Telinganya terasa panas saat Rio berbisik tadi.
Tak terlihat menyadari apa pun, Rio melangkah, bermaksud keluar kelas sementara Ify masih terdiam memegangi kedua pipinya. Saat sadar Ify tidak mengikutinya, Rio menoleh
“lo kenapa?”tanya Rio kembali membuat Ify salah tingkah
“eh? Nggak apa-apa!”seru Ify kelewat ceria “ayo pulang!” Ify melesat mendahului Rio keluar kelas, membuat Rio menyernyitkan dahi. Ia lalu mengedikkan bahu dan mengikutinya
**