Our Story [9]

Kamis, 25 Oktober 2012


 SEMBILAN

RIO membuka pintu rumahnya, lalu melangkah masuk. Tahu-tahu ia menginjak sehelai kertas. Ia memungut kertas itu dan membacanya.
Besok jam 10 gue tunggu lo di depan Taman Menteng.

Rio menatap kertas itu dingin, lalu meremas dan melemparnya sebarangan. Ia melepas tas dan meletakannya beserta tongkat baseball di atas meja, kemudian mengambil botol air mineral dan meneguk isinya.

Surat itu adalah tantangan atau mungkin undangan yang kesekian dalam bulan ini. Rio tak pernah memedulikannya. Ia tak suka bertemu orang-orang asing.  Ia tak ingin masuk lingkungan baru. Ia juga tak berminat untuk jadi ketua atau anggota geng apa pun lagi. Mengurusi satu geng sekolahnya saja sudah sangat melelahkan.

Rio merebahkandiri di atas sofa yang berdebu dan sobek di sana-sini, lalu memejamkan mata. Surat itu tidak ditulis oleh orang yang sama. Tulisan tangannya selalu berbeda-beda, tapi tidak pernah ada nama pengirim. Walaupun demikian, Rio sudah bisa memprediksi siapa saja yang menulisnya. Orang-orang yang bisa jadi sangat merepotkan kalau Rio meresponnya.

Rio lantas teringat Ray, anak yang pernah akan ia pukul dan dibela oleh Ify. Anak itu kedapatan memakai ganja ditoilet oleh anak buah Rio yang lain. Rio tidak akan pernah memaafkan anak itu karena sudah mengkhianatinya.

Rio terduduk. Darahnya mendidih kalau mengingat benda yang satu itu. benda yang sudah membuat hidupnya berantakan. Benda yang seumur hidup tidak akan pernah disentuhnya walaupun semua orang sudah memakainya. Benda yang akan membuat seluruh anak gengnya mati di tangannya kalau kedapatan menggunakannya.

Rio tidak peduli jika ia dibilang pemimpin geng banci. Ia justru akan membunuh siapa pun yang berani mengatakannya. Ia tidak merasa menggunakan narkoba membuatnya lebih jantan. Justru yang memakainyalah yang banci, yang hanya bisa lari dari kenyataan, persis seperti seseorang yang pernah ada dihidupnya.

Rio membuka kemeja, gerah karena pikirannya. Mendadak ia teringat sesuatu. Sesuatu yang membekas di raga, dan juga hatinya. Sesuatu yang tidak ingin diingatnya lagi.

Rio bangkit menuju dapur untuk mengambil botol air mineral lagi. Ia bisa gila kalau lama-lama memikirkan ini.

Saat ia sedang meneguk isi botol keduanya, pintu rumahnya tahu-tahu menjeblak terbuka. Rio memicingkan mata untuk mengenali bayangan di depan pintu sambil perlahan meraih tongkat baseball.

Detik berikutnya, jantung Rio serasa berhenti berdetak. Matanya tak bisa berkedip. Ia sama sekali lupa bernapas. Botol air mineral yang dipegangnya sudah jatuh dan menggelinding. Rio tak bisa menggerakan satu syaraf pun saat mengenali sosok tinggi besar yang muncul dari pintu

“kamu tidak mau menyapa saya, setelah tiga tahun lebih nggak ketemu?”tanya ayahnya dengan suara serak. Rio sendiri masih membatu di tempatnya berada.

Ayahnya masuk dengan langkah terseok, melepas jaketnya, dan melemparnya sembarangan bersama sebuah ransel buluk. Ia lalu menatap Rio yang menggenggam tongkat baseball.

“kamu bahkan nggak pernah menjenguk saya”kata ayahnya lagi, dingin

“kenapa..”Rio tercekat. Ia tidak tahu ayahnya akan dibebaskan secepat ini

“karena saya berkelakuan baik selama disana”jawab ayahnya sambil tersenyum sinis. Ia lantas bergerak mendekati Rio. Rio mempererat genggamannya pada tongkat walaupun tubuhnya gemetar

“kenapa? Kamu nggak senang saya bebas lebih cepat?”

Rio melirik ayahnya yang sekarang sedang melepas ikat pinggang. Mata Rio melebar. Keringat dingin sudah mengalir di sekujur tubuhnya.

Saat ikat pinggang itu sudah tercabut, Rio berderap ke arah pintu. Ia tidak peduli ayahnya yang menyumpah karena tertabrak dengan keras. Ia tidak ingin berada di rumah itu bersamanya.

Rio bahkan masih tidak bisa mempercayainya. Ayahnya, yang divonis hukuman lima tahun penjara, sudah bisa bebas dalam waktu tiga tahun saja. Rio tak pernah menduganya. Semua rencana Rio untuk segera pergi jauh setelah lulus SMA sekarang berantakan.

Rio berhenti berlari, lalu terduduk lemas di sebuah bangku taman. Ia menjambak rambutnya keras-keras
“sialaaannnn!!!!!!”serunya sekuat tenaga, membuat beberapa orang yang lewat berjengit dan segera menghindar. Rio memuku-mukul dahinya sendiri, menyesali segalanya.
Di saat ia pikir hidupnya sudah membaik.

***

Ify menatap ragu bangunan sekolahnya yang sudah gelap. Ia menoleh ke kanan dan kiri, tapi tidak ada siapa pun. Ify menggigit bibir, lalu memberanikan diri untuk melangkah masuk.

Ia mengutuk dalam hati dirinya sendiri yang lupa meletakan ponsel. Kalau bukan karena ayahnya yang bisa saja menelpon dan khawatir, ia tidak akan repot-repot menantang maut seperti ini.tadi, ia bahkan rela berhenti satu kilometer dari sekolahnya agar sopir taksi tak bertanya macam-macam.

Ify mengintip kelasnya yang gelap, lalu meraba-raba dinding untuk mencari saklar. Setelah lima menit meraba dinding yang penuh debu, ia menemukannya juga. Ia cepat-cepat menyalakan lampu, lalu melesat ke bangkunya. Ia merogoh laci meja dan menghela napas lega saat ponselnya masih ada disana.

Ify berbalik, bermaksud untuk cepat-cepat pergi, tapi ia tak sengaja melihat sesuatu dipojok belakang kelasnya

“huaaa!”jeritnya, refleks menutup mata dan telinga, menyangka yang dilihatnya adalah sejenis makhluk gaib.

“hoi”kata makhluk itu, membuat Ify mau tidak mau mengintip. Tidak ada makhluk gaib yang menyapanya.

Ify langsung melongo saat melihat makhluk yang disangkanya gaib ternyata Rio. Ify tak berkedip untuk beberapa saat, bingung dengan apa yang dilakukan Rio di kelas yang gelap seperti ini

“Rio?” Ify memicing “ngapain lo?”

Rio tak menjawab. Ia hanya menatap Ify datar. Lalu tersenyum lelah

“bertapa” jawabnya singkat. Ify tak langsung memercayainya “lo sendiri?”

“ngambil ini, ketinggalan”Ify menunjukan ponselnya. Rio hanya mengangguk-angguk. Ify menatap Rio yang tampak kacau, lalu menghampirinya “ada apa, Yo?”

Rio menatap Ify lama, tampak menimbang-nimbang. Ify sendiri berhenti melangkah begitu melihat tongkat baseball Rio masih setia di sampingnya. Ify punya sejarah buruk dengan tongkat itu

“lo serius mau tau?”tanya Rio, tidak terdengar marah. Ify menggigit bibir. Rio kadang ramah, tapi ia juga sering hanya menggodanya. Tapi di luar kesadarannya, Ify mengangguk. Rio tersenyum simpul “gue mau ngasih tau lo, tapi setelah itu lo harus gue bunuh”

Rio mengatakannya dengan sangat serius, membuat Ify refleks menutup kedua telinganya. Rio lantas terbahak melihat Ify yang ketakutan

“bercanda”kata Rio di sela tawanya. Membuat Ify menatapnya sengit.

“gimana gue bisa tau kalo lo Cuma bercanda?”katanya kesal membuat Rio berhenti tertawa

“lo nggak tau, kecuali gue bilang begitu”kata Rio tajam. Ify sadar kalau ia tidak boleh membuat Rio kesal sekarang. Rio tampak begitu labil.

“oke, gue nggak mau tau”kata Ify kemudian “ayo kita pulang”

Rio menatap Ify tak percaya, lalu terkekeh

“kenapa ketawa? Udah malem loh”Ify melihat sekeliling waspada “lo nggak takut ada..makhluk gaib?”

Tawa Rio semakin menjadi-jadi mendengar kata-kata Ify. Baru kali ini Rio tertawa lepas dalam beberapa tahun terakhir. Ify sendiri menatap Rio bingung. Rio lantas berusaha menghentikan tawanya

“duduk sini, temenin gue”Rio menepuk-nepuk lantal di sebelahnya. Ify menatap lantai itu ragu, tapi Ify juga takut dilempar tongkat kalau menolaknya.

Ify akhirnya duduk di depan rio. Rio tampak tersenyum-senyum simpul, membuat Ify merinding

“mau..ngapain?”tanya Ify pelan saat Rio mencondongkan tubuh padanya

“masa lo nggak ngerti sih?”Rio balas bertanya. Ify tau jantungnya sudah berdegup kencang. Ia sering melihat adegan semacam ini di serial remaja Amerika.

“jangan!”Ify segera mencengkram kancing blusnya sendiri. ia belum siap untuk ini. tahu-tahu ia mendengar rio terpingkal-pingkal. Ia menatap anak laki-laki itu sebal “lo kok suka banget sih ngegodain gue!”

“salah sendiri lo imut”kata rio setelah puas tertawa. Ia lalu menatap Ify lekat-lekat. “entah apa lo pinter akting, atau lo bener-bener polos, sampe sekarang gue nggak tau”

“gue belum pernah pacaran”kata Ify membuat Rio tak berkedip

“dan gue masih perjaka ting-ting”timpal Rio, lalu terbahak. Ify sendiri hanya menatapnya tanpa reaksi, membuat tawa Rio berhenti. Rio berdehem sebentar, kemudian menatap Ify serius “serius lo?”

Ify mengangguk, membuat rio menatapnya tak percaya.

“jadi...lo udah nggak.. perjaka?”tanya Ify, sementara Rio masih sibuk dengan pikirannya sendiri

“yah, siapa sih di sekolah ini yang masih?”jawabnya cuek, membuat Ify menggigit bibir, tidak tahu apa yang membuatnya kecewa. Padahal Ify sadar benar kalau Rio adalah playboy sekolah ini.

“oh gitu..”gumam Ify, berusaha sebisa mungkin untuk tidak terdengar kecewa

“tapi kalo dipikir-pikir mungkin ada”Rio menatap Ify yang tampak ingin tahu “ketua OSIS kesayangan lo itu”

“Gabriel?”tanya Ify. Tapi ia sendiri tidak pernah mempertanyakan Gabriel

“kalian cocok kalo gitu”kata Rio sinis”pasangan virgin. Fantastis”

Ify menatap Rio sebal. Rio mengatakannya seolah menjadi virgin adalah hal yang memalukan

“apa salahnya virgin? Gue bangga”kata Ify membuat Rio terkekeh


Ify memperhatikan Rio yang sudah kembali menerawang. Ify lantas teringat sesuatu

“ngomong-ngomong, kemarin itu, antara lo sama Gabriel.. ada  apa sih?”tanya Ify hati-hati. Sesuai dugaannya, Rio sekarang menatapnya tajam. Ify menggigit bibir”gue.. harus dibunuh setelah lo kasih tau?”

Rio mendengus, lalu menyandarkan punggung ke tembok”apa yang dia bilang sama lo?”

“dia nggak bilang apa pun”jawab Ify cepat

“oh ya? Gue pikir dia udah curhat segala macem sama lo”kata Rio, membuat Ify mengangkat alis. Rio menatapnya lagi “dia bilang, kami pernah satu SMP?”

“kalian temen SMP?”ulang Ify tak percaya

“bukan temen. Pernah satu SMP”tukas Rio, terdengar kesal. Ify mengangguk-angguk pelan. “yah, intinya, dia itu pengkhianat”


Ify menatap Rio yang tampak memijat dahi

“kalian dulu berteman, kan? Tapi sekarang nggak lagi?”tanya Ify membuat Rio mendelik “kenapa?”

“lo nggak denger gue?”bentak Rio, membuat Ify segera menutup mulut”dia berkhianat, dan gue nggak bisa terima itu. dan dia bukan temen gue”

Rio kembali memijat dahinya keras-keras. Denyutannya semakin menyakitkan  “apa yang dia lakukan sampe lo semarah ini?”tanya Ify lagi, membuat Rio menatapnya tidak sabar

“lo bener-bener bego ya?”seru Rio membuat Ify tersentak “gue kasih tip aja buat lo. Kalo lo nggak mau mati muda, jangan banyak tanya!”

Ify menunduk, lalu mengigit bibir untuk menahan tangis, Rio meliriknya, lalu menghela napas

“sori”katanya, membuat Ify mendongak, heran dengan mekhluk di depannya itu.

“hebat banget ya”kata Ify takjub “mood swing lo”

Rio menatapnya kesal sesaat, lalu berdecak

“jangan ngomong pake bahasa Inggris di depan gue”katanya sambil membuang pandangan. Ify nyengir sendiri melihat tingkah Rio

“oke”kata Ify manis membuat Rio meliriknya. Rio memperhatikan Ify sebentar. Tiba-tiba, ia ingin mencoba sesuatu.

“lo tau tentang bokap gue?”tanya Rio membuat Ify menggeleng “bokap gue napi”

Ify menatap Rio sesaat.

“oh”komentarnya kemudian, membuat Rio melongo

“lo ngerti kan apa arti napi?”tanya Rio lagi, heran dengan reaksi anak perempuan di depannya ini

“narapidana kan?”kata Ify “karena apa?”

“narkoba”jawab Rio walaupun masih bingung. Ify mengangguk-angguk simpati

“terus nyokap lo?”tanya Ify santai, seolah Rio sedang bercerita tentang silsilah keluarganya

“kabur”sambar Rio tak sabar “lo nggak mau ngomong apa-apa soal bokap gue?”

“ngomong apa?”Ify balas bertanya, bingung

“nggak tau. hal yang biasanya orang omongin sama anak napi, kayak misalnya, anak napi itu udah pasti mewarisi kejahatan orangtuanya?”kata Rio membuat Ify tambah bingung

“kenapa gue harus ngomong kayak gitu?”

“karena gue anak napi!!”sahut Rio emosi. “lo normalnya nggak mau deket-deket sama anak napi, kan?”

“hah? Kenapa harus gitu? Lo anak napi bukan berarti lo juga napi, kan?”

Rio terdiam untuk beberapa saat, lalu mulai tertawa hampa dan kembali menyandarkan tubuh ke tembok. Ia menatap Ify nanar

“kenapa lo nggak pindah kesini tiga tahun lalu?”gumamnya, membuat Ify mengerutkan kening. Ia tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Rio.

Rio menyeka wajahnya, berusaha untuk menghilangkan amarahnya. Anak perempuan di depannya itu sudah membuatnya hampir gila.

“Yo, ini yang bikin lo jadi kayak sekarang?”tanya Ify hati-hati “gara-gara ini lo jadi pemarah kayak gini?”

“menurut lo?”Rio balas bertanya “dan lo tau siapa yang paling bertanggung jawab?”

Ify menggeleng pelan

“ketua OSIS lo itu”kata Rio, rahangnya mengeras “ketua OSIS lo yang belagak pemenang nobel perdamaian itu”

Ify menatap Rio tak percaya “Gabriel?”

“dia yang bikin gue kayak begini’kata Rio lagi “dan seakan belum cukup mengkhianati gue di SMP, dia pindah kemari dari SMA unggulannya, jadi bintang pemegang ranking pertama, pemenang lomba, ketua OSIS, idola cewek-cewek.. dia belum cukup liat gue hancur! Dia masih mau nginjek gue!”

Ify menatap Rio tak percaya. Ia tidak pernah berpikir Gabriel bisa melakukan hal-hal seperti itu.

Rio menatap Ify sinis “apa? gue menghancurkan image pangeran pujaan lo?”

“gue..  Cuma..dia bukan pangeran pujaan gue”Ify tergagap, membuat Rio terkekeh

“ganteng, kaya, pinter.. dia bukan pangeran pujaan lo? Gue percaya”komentarnya, masih belum kehilangan nada sinisnya

 “lo bisa bilang gue cewek aneh”kata Ify, jantungnya mendadak berdegup kencang “tapi.. gue punya kecenderungan tertarik sama cowok brengsek”

Rio terdiam untuk beberapa saat. Ia menatap anak perempuan di depannya itu tanpa berkedip sementara Ify membalasnya berani. Ify tidak tahu kalau Rio sekarang sedang mati-matian berusaha menahan segala keinginan untuk menerkamnya.

Tahu-tahu terdengar suara ganjil memecah keheningan. Ify buru-buru memegang perut sambil menatap Rio malu-malu. Rio bengong sesaat, sejurus kemudian tawanya menyembur dan tak bisa dehentikan untuk beberapa menit. Ify sendiri menatapnya sambil cemberut

“ehem..sori”kata Rio setelah puas tertawa. Ia menatap Ify, masih dengan sisa-sisa senyum di bibir “lo bener-bener deh.. polos”

Ify terdiam sebentar, lalu mengedikan bahu

“gue anggep sebagai pujian deh”katanya sambil bangkit dan menepuk-nepuk jeans-nya yang kotor. Ia lalu mengulurkan tangan kepada Rio “ayo pulang”

Rio menatap tangan itu sebentar, kemudian meraihnya, bermaksud untuk berdiri dengan menumpukan berat badannya pada Ify. Ify yang tidak siap malah tertarik ke arah Rio dan tenpa sengaja memeluknya. Saking dekatnya, Ify sampai yakin ia bisa mendengar detak jantung Rio

“lo harus makan dulu”bisik Rio membuat Ify tersadar dari khayalannya. Ify segera mundur beberapa langkah sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga, salah tingkah. Telinganya terasa panas saat Rio berbisik tadi.

Tak terlihat menyadari apa pun, Rio melangkah, bermaksud keluar kelas sementara Ify masih terdiam memegangi kedua pipinya. Saat sadar Ify tidak mengikutinya, Rio menoleh

“lo kenapa?”tanya Rio kembali membuat Ify salah tingkah

“eh? Nggak apa-apa!”seru Ify kelewat ceria “ayo pulang!” Ify melesat mendahului Rio keluar kelas, membuat Rio menyernyitkan dahi. Ia lalu mengedikkan bahu dan mengikutinya

**

Our Story [10]

SEPULUH


SEPULUH

RIO membuka mata perlahan, tapi segera menutupnya lagi. Cahaya matahari yang menyilaukan membuat matanya terasa perih. Rio mengucek mata, lalu mencoba duduk dan melihat ke sekeliling. Ruang kelasnya masih lenggang. Rio bangkit, lantas menggerakan pinggang yang terasa kaku. Lehernya juga terasa sakit. Tidurnya semalam sangat tidak nyenyak. Selain lantai kelasnya keras dan dingin, nyamuk yang berkeliaran juga tidak tanggung-tanggung. Rio menggaruk tangan dan pipinya yang penuh bentol.

Rio tersaruk ke bangkunya, ia duduk. Ia lantas menatap ke depan, ke arah papan tulis yang di penuhi coret-coretan anak buahnya. Kebanyakan coretan itu tentang makian terhadap guru, tapi ada juga yang menjadikan papan itu ajang untuk menitip salam.
Rio menguap, lalu tanpa sengaja melirik meja sebelahnya. Meja Ify.

Rio tersenyum sendiri, mengingat kejadian semalam. Ia tak pernah menyangka masih ada hal yang bisa membuatnya tersenyum setelah mimpi buruknya selama tiga tahun menjadi nyata.

Rio menghela napas, sekarang teringat sosok ayahnya yang muncul di pintu rumah setelah tiga tahun di penjara. Rio berpikir ia masih punya waktu dua tahun, tapi ternyata ia salah. Ayahnya sekarang sudah kembali. Itu yang membuat Rio menolak untuk pulang.

Tanpa ia sadari, ia meraba punggungnya yang mendadak terasa sakit. Bukan karena tidur di lantai yang keras, tapi karena luka di masa lalu. Luka yang sampai kapan pun tidak akan bisa sembuh.

“hei”

Rio mendongak, lalu melongo saat melihat siapa yang barusan berbicara. Ify muncul dari pintu kelas, lantas masuk dengan ceria sambil menenteng sebuah tas berwarna pink. Ia meletakan tas itu di atas meja Rio, membuka isinya dan menyodorkannya pada Rio.

Rio hanya menatapnya bingung kotak bekal di tangan Ify.

“gue tau lo pasti masih di sini”kata Ify sambil tersenyum “makanya gue dateng pagi-pagi. Ini, sarapan dulu”

Rio menatap Ify yang masih tersenyum, lalu kembali menatap kotak bekal bergambar Hello Kitty itu dan menerimanya. Ify segera duduk di depannya

“punya lo...?”

“oh, gue? udah makan”jawab Ify cepat, membuat Rio mengangguk-angguk. Rio lantas membuka tutup kotak bekal itu, membuat Ify segera meringis “gue nggak bisa masak, sori ya”

Rio menatap nasi putih beserta beberapa sosis goreng di bentuk gurita dan telur orak arik yang ada di dalam kotak bekal itu, tapi tak lantas melahapnya. Ia menatap Ify lekat-lekat, lalu dengan sekali gerakan cepat, ia meraih kepala Ify dan mengecup dahinya.

Ify melongo parah sementara Rio segera asyik mengunyah sosis. Beberapa saat kemudian, Ify sadar dan memegang kedua pipinya sendiri yang sudah terasa panas. Rio melihatnya dari sudut mata, tapi pura-pura tak peduli walaupun setengah mati ingin tertawa.

“siapa juga bisa masak yang begini”komentar Rio setelah selesai makan, membuat Ify mendelik.
Rio tertawa, lalu menepuk kepala Ify

“makasih”gumam Rio tak jelas sambil bangkit dan mengelus-elus perutnya yang kenyang.

“apa?”tanya Ify pura-pura tak mendengar, tak ingin melepaskan Rio kali ini. rio berdecak, kemudian mendekati Ify yang segera menunduk

“apa perlu gue bilang dengan cara lain?”tanya Rio membuat Ify cepat-cepat menggeleng takut. Rio mengangguk-angguk jahil, lalu meregangkan otot-ototnya. Ify menatap kerah kemeja Rio yang kotor.

“Yo, kemeja lo kotor banget tuh. Lo nggak ada baju ganti?”tanya Ify, membuat Rio mengintip punggung kemejanya yang memang sudah cokelat terkena debu lantai

“oh, baju olahraga”Rio segera mengambil baju olahraganya dari laci, membuat Ify bergidik. Ify bersumpah suatu saat akan mengeluarkan isi laci Rio dan mengirimnya ke laundri.

Rio melepas kemejanya, dan pada saat itulah Ify menyadari sesuatu. Ify bangkit, lantas mendekati Rio dan menyentuh punggungnya. Rio tersentak kaget dan buru-buru mengenakan kaus olahraga, tapi Ify sudah keburu melihat. Ia sudah melihat bekas-bekas luka panjang yang memenuhi punggung Rio

“kenapa..?”

Rio menghela napas, lalu menyisir rambutnya sendiri dengan jari. Ia sedang tidak ingin bercerita apa pun

“bokap lo ya?”tanya Ify membuat Rio mendelik. Ify segera menutup mulut tahu kalau tebakannya benar

“jangan ngomong soal itu lah”sergah Rio, kembali dingin seperti kemarin-kemarin. Rio lantas mendesah “gue mau mandi dulu”

Rio bergerak ke arah pintu, tapi langkahnya tiba-tiba terhenti. Shilla ada disana sambil menatap mereka tak percaya

“ngapain lo berdua hari gini?”tanyanya curiga

“bukan urusan lo, pecun”kata Rio sinis, lalu melewatinya.

“RIO!”sahut Ify, tapi Rio sudah menghilang di balik pintu. Ify lantas menatap Shilla penuh rasa bersalah “sori ya”

“kenapa lo minta maaf?”tanya Shilla dingin “memang lo siapanya?”

“gue.. tapi memang nggak seharusnya Rio ngomong begitu, kan?”kata Ify, membuat Shilla mendekatinya dengan tatapan sinis.

“jangan minta maaf atas nama dia”desis Shilla tanpa berkedip “lo bukan siapa-siapa”

Ify mengigit bibir sementara Shilla melewatinya dan melemparkan tas ke bangkunya. Ify menoleh, lalu menatap Shilla yang sekarang sudah sibuk dengan ponsel.

“kenapa lo diem aja sih dikatain pecun?”tanya Ify, tak tahan dengan rasa penasarannya “lo nggak ngerasa harga diri lo diinjek-injek?”

Shilla mengangkat wajah dari layar ponsel, kemudian menatap Ify tajam. Ia lantas bangkit dan mendekati Ify yang tampak gemetar. Tanpa kata-kata, Shilla menampar keras wajah Ify

“tau apa lo?”desis Shilla geram “TAU APA LO!!”

Shilla menabrak tubuh Ify hingga oleng, lalu berderap keluar kelas. Ify meraba pipi kanannya yang berdenyut menyakitkan.
Baru kali ini ia ditampar seseorang.

***

“halo! Ada orangnya gak ya?”

Ify tersentak, lantas menatap ke arah pintu. Via melongokan kepala dari sana. Anak perempuan itu melambai, lalu masuk ke dalam

“wah... baru kali ini gue masuk ruang OSIS, ternyata enak juga”komentarnya sambil melempar pandangan ke sekeliling. Ia lalu menatap Ify yang hanya sendirian di ruang itu “si ketua OSIS ke mana?”

“lagi ke ruang guru”jawab Ify sambil tesenyum lemah. Via memperhatikan Ify, lantas duduk di depannya

“lo kenapa? PMS?”tanya Via membuat Ify menggeleng, Via mengangguk-angguk pelan. Ia tahu ada yang aneh dari Ify, karena tidak biasanya anak itu melamun sepanjang hari

“tadi.. gue tanya sama Shilla”kata Ify, membuat Via menatapnya “kenapa dia nggak marak karena dibilang pecun. Kenapa dia nggak merasa harga dirinya diinjek. Tapi.. dia malah napar gue”
Ify meraba pipinya, yang masih terasa panas sampai sekarang Via menatapnya simpati, lalu menghela mapas

“jawabannya gampang aja”kata Via membuat Ify menatapnya “karena dia emang pecun”

Mata Ify melebar mendengar jawaban Via “maksud lo..”

“dia, gue dan kebanyakan cewek di sekolah ini”kata Via santai. Ify sekarang menganga “tap –tapi itu nggak bener, kan? Itu Cuma image sekolah kita, kan? Itu Cuma yang orang-orang pikir tentang kita, kan?”

“itu semua bener, Fy, bukan Cuma image”Via tersenyum miris “dan jangan bilang ‘kita’, lo bikin gue jadi sedih. Lo bukan bagian dari ‘kita’. Lo nggak akan pernah”

Ify menekap mulutnya sendiri, tak percaya dengan pendengarannya barusan. Selama ini, ia menyangka julukan ‘pecun’ itu hanyalah ejekan, bukan yang sebenarnya terjadi. Tapi ternyata ia salah.

“tapi kenapa..?”

“banyak alesannya”jawab Via lagi “alasan-alasan yang cewek seperti lo nggak bakal ngerti”

Ify menatap Via lama hingga matanya terasa panas. Ia lalu teringat pada Shilla dan ekspresinya saat ia menampar Ify.

Ify memang tidak tahu apa alasan Shilla, tapi Ify ingin mengetahuinya

Our Story [8]


DELAPAN

“PROPOSAL, ini terpaksa saya tolak”

Gabriel mengangkat kepala, lalu mengangguk pelan. Tama menyodorkan kembali map yang sebelumnya diberikan Gabriel. Gabriel menerimanya, lalu berbalik, bermaksud untuk keluar ruangan berhawa sejuk itu. sebelum mencapai pintu, Gabriel menoleh dan menatap Tama yang sekarang asyik berman game di laptopnya.

“boleh saya tahu alasannya?”tanya Gabriel, membuat Tama mendongak dan menatapnya heran.

“ya, karena membuang-buang dana”katanya kemudian

Gabriel mengedarka pandangan ke sekeliling ruangan itu “lalu merenovasi ruangan ini tidak membuang dana?”

Tama menegakkan punggung. Gabriel tidak pernah banyak bertanya sebelumnya “maksud kamu apa?”

“saya hanya minta izin membuat ekskul agar murid-murid bisa menyalurkan bakat dan minat mereka. Itu jauh lebih baik daripada membiarkan mereka berkeliaran di jalan”kata Gabriel, berusaha untuk mengontrol emosinya “bapak bisa membeli segala kemewahan ini dengan dana sekolah, tapi tidak bisa untuk membeli bola dan net?”

“jaga mulutmu”kata Tama tajam “saya tidak membeli semua ini dengan uang sekolah”

“oh ya? Lantas dengan uang apa?”kata Gabriel lagi “uang sumbangan dari Ify?”

Tama merapatkan geraham, berusaha untuk meredam amarahnya. Siswa di depannya ini adalah satu berkah untuknya. Bisa dibilang, selama dua tahun terakhir, sekolah ini bertahan karenanya. Tama tak ingin kehilangan itu, tapi di saat yang sama, ia juga punya harga diri.

“saya paham kamu punya keinginan mulia untuk menyelamatkan murid-murid yang lain. Kamu ingin mengubah sekolah ini. tapi, Nak, ada yang harus kamu pahami” Tama mencondongkan tubuh ke depan “kamu tidak bisa menyelamatkan orang yang tidak ingin deselamatkan”

“apa maksudnya?”tanya Gabriel lambat-lambat

“Gabriel, anak-anak ini adalah mereka yang tersesat. Mereka tidak peduli pada apa pun yang berbau sekolah. Mereka datang ke sini hanya untuk berkumpul dengan sesamannya, jauh dari keluarga. Mencari jati diri dengan berkelahi, atau mencari uang dengan melacur. Apa katamu tadi, bakat? Minat? Percayalah, tidak ada satu pun dari mereka yang peduli soal hal-hal seperti itu”kata Tama, membuat Gabriel mengepalkan tangan “kalau kamu percaya, coba kamu tanyakan sendiri pada mereka. Kamu akan terkejut saat tahu kalau saya benar”

Gabriel merasa darah dikepalanya mendidih mendengar penjelasan Tama

“tersesat, kata Bapak? Lantas kenapa bapak tidak mencoba mengembalikan mereka ke jalan yang benar?”tanya Gabriel geram. Tapi Tama malah terkekeh

“saya ada di sekolah ini lebih dari sepuluh tahun, Gabriel. Percayalah, saya sudah melakukan hampir segalanya. Dan hal yang paling baik dalam mendidik anak-anak ini adalah dengan membiarkan mereka”kata Tama lagi, membuat Gabriel muak “sekolah ini bukan tempat belajar untuk mereka. Sekolah ini hanya wadah untuk eksistensi mereka”

“bagaimana”kata Gabriel lambat-lambat “bagaimana bapak bisa bicara seperti ini?”

“saya hanya melihat kenyataan”Tama tersenyum, membuat kertas di tangan Gabriel kusut. Tama melihat itu “walaupun begitu, kamu bukan bagian dari mereka. Kamu bisa melihat mana yang benar. Kamu tahu semua yang saya bilang itu benar”

“mungkin bapak bilang mereka memang benar, tapi bukan berarti tidak ada jalan keluar”kata Gabriel lagi “bapak hanya tidak mau berusaha mengerti mereka”

“jangan kamu berani bilang saya tidak mau berusaha mengerti mereka “kata Tama. “selama sepuluh tahun ini, saya sudah mencoba, tapi tidak ada perubahan. Dari tahun ke tahun, sifat mereka sama saja. Tahun ini memang lebih baik dari angkatan sebelumnya, tidak banyak tawuran, dan saya pikir itu karena tidak ada sekolah lain yang berani pada Rio”

“selama sekolah ini menerima sampah seperti mereka, tidak akan ada perubahan Gabriel”Tama melanjutkan”tapi jika sekolah ini tidak menerima mereka, sekolah ini sudah tamat sejak dulu. Itu ironi yang harus saya hadapi selama bertahun-tahun”

Gabriel menatap Tama tanpa berkdip sehingga matanya panas.
“saya pikir saya bisa sedikit percaya sama orang dewasa, tapi saya salah” kata Gabriel tanpa membuka rahangnya “kalian semua mengecewakan kami”

Gabriel bergerak cepat ke arah pintu tanpa mengidahkan Tama yang masih bicara, lalu keluar dari ruangan itu. Gabriel meninju tembok di sebelahnya sampai catnya rontok.

Selamanya Gabriel ridak akan pernah lagi percaya pada ornag dewasa. Tidak akan pernah

.

Gabriel berjalan dengan kepala berdenyut menuju ruang OSIS. Ia berusaha meredakan denyut menyakitkan itu dengan memijat dahinya. Tadi Gabriel benar-benar kehilangan kendali. Gabriel sudah terbiasa dengan penolakan dan tidak pernah bertanya lebih lanjut. Tadinya Gabriel akan mengajukan proposal seperti biasa karena ia merasa memiliki tanggung jawab terhadap sekolah itu, dan tidak melakukan apa pun setelah ditolak, tapi tadi ia tidak bisa menahan diri. Kata-kata Ify kemarin membuatnya tergelitik untuk sekali lagi berusaha untuk memercayai orang dewasa.

Gabriel berjalan pelan menyusuri halaman belakang sekolah menuju ruang OSIS. Pintunya terbuka pasti Ify sudah ada disana. Gabriel mendesah, tak ingin berbagi cerita apa pun pada anak perempuan itu.

Saat Gabriel baru akan masuk, sudut matanya menangkap suatu pemandangan yang tak biasa di atas gudang olahraga. Gudang itu merupakan gudang yang harusnya berlantai dua, tapi pembangunannya tidak diteruskan karena kurang dana. Jadi sekarang, di atas gudang itu hanya ada sebidang kosong yang dipakai untuk meletakan kayu-kayu bekas.

Tapi bukan itu yang membuat Gabriel heran. Di atas sana, Via sedang berdiri dengan tatapan kosong. Saat Gabriel hendak bertanya, Via melangkah ke pinggiran gedung, membuat Gabriel refleks berlari ke arah belakang gudang dan menaiki tangga yang ditemukannya. Gabriel muncul dari belakang Via yang masih berdiri di pinggir gedung

“hei!”seru Gabriel membuat Via menoleh. Tapi sebelum Via sempat membalas, Gabriel sudah merain tangannya dan menariknya menjauhi pinggiran

“eh? Apa-apaan nih?” seru Via yang terkejut karena mendadak ditarik

“denger”kata Gabriel dengan napas terengah sambil mencengkram kedua bahu Via “apa pun yang terjadi sama lo, selalu ada jalan keluar”

“hah?”seru Via bingung, tak mengerti dengan kata-kata Gabriel. “maksud gue, janga menyerah. Lo nggak boleh ambil jalan pintas dengan bunuh diri”kata Gabriel lagi, membuat Via melongo. Detik berikutnya Via terbahak sementara Gabriel menyernyitkan dahi, bingung.

“lo pikir gue mau bunuh diri, gitu?”kata Via geli di tengah tawanya

“lo tadi.. bukan mau bunuh diri?”tanya Gabriel lagi dengan tampang polos, membuat tawa Via semakin menjadi-jadi

“gue Cuma mau duduk di sana”Via menyeka air matanya yang sudah keluar “lagian emang gue bakal mati kalo loncat dari sini?”

Gabriel mengintip ke bawah, yang memang hanya sekitar tiga meter dari tempatnya berada sekarang. Orang yang melompat ke bawah paling-paling hanya akan keseleo. Gabriel menatap Via, lalu mengedikan bahu

“siapa tau”kata Gabriel sambil memikirkan kemungkinan apa Via bisa benar-benar meninggal kalau loncat a la perenang dengan kepala terlebih dahulu

“gue nggak segitu desperate kok”kata Via, akhirnya bisa berhenti tertawa. Ia lalu menatap Gabriel yang masih tampak berpikir sambil melihat ke bawah. “lo imut juga ya”

Gabriel menoleh ke arah Via yang menatapnya penuh arti. Belum pernah Gabriel dibilang imut oleh siapa pun

“sikap Superman lo itu. sikap mau menolong siapa pun yang kesusahan lo itu”Via masih menatap Gabriel “imut banget”

Gabriel terdiam, mendadak teringat paa kata-kata Tama, kalau ia tidak bisa menyelamatkan orang yang tidak ingin diselamatkan. Via menatap heran Gabriel yang malah menerawang. Biasanya laki-laki yang ia rayu langsung terjerat, tapi ternyata tidak berlaku untuk yang satu ini.

Via mengedikan bahu, lalu matanya menangkap sebuah map yang tergeletak di lantai, sepertinya Gabriel menjatuhkannya dalam upaya penyelamatan tadi. Via memungut lalu membacanya.

“proposal pembentukan ekskul?”baca Via, berhasil membuat Gabriel menoleh. Via menatap Gabriel tak percaya. “lo mau bikin ekskul disini?”

“ya, tapi ditolak”jawab Gabriel, membuat Via terkekeh

“kalo diterima baru gue heran”katanya sambil meneruskan membaca. Gabriel memperhatikannya

“kalo emang ekskul boleh dibuat, lo masuk ekskul apa?”tanya Gabriel membuat Via menatapnya tanpa berkedip

“mm.. Jaipong?”jawab Via, lantas terbahak dengan leluconnya sendiri. gabriel menatapnya datar, membuatnya berhenti tertawa “lo serius?”

“lupain aja” Gabriel kembali menatap pemandangan atap-atap rumah orang di depannya. Via menatapnya, lalu mendesah

“anak-anak di sekolah ini nggak ada yang butuh ekskul, Gab” Via menyobek salah satu kertas proposal itu dan meletakkannya di lantai. Ia lantas duduk di atasnya, membuat Gabriel melongo. Via menoleh ke arah Gabriel yang masih berdiri. “kita lebih butuh duit”

Gabriel terdiam, lagi-lagi teringat kata-kata Tama. Ia benci mengetahui bahwa orang tua itu benar. Via menatapnya sebentar, lalu menyobek satu lagi halaman proposal dan meletakannya di sampingnya. Ia menepuk-nepuk kertas itu, menyuruh gabriel duduk di sana

Gabriel menatap kertas itu sebentar, menghela napas, lalu duduk juga di atasnya. Daripada mendudukinya, sebaiknya Gabriel lebih ingin membakarnya. Via memperhatikan tampang murung Gabriel

“dari dulu gue penasaran. Sebenernya apa sih yang lo lakuin  di sekolah ini?”tanya Via tiba-tiba, tapi Gabriel tak bereaksi “sekarang, ditambah lagi si anak baru itu, Ify. Apa yang orang-orang elit kayak kalian lakuin disekolah ini?”

“gue nggak ngerasa elit”komentar Gabriel tanpa menoleh

“anak anggota DPRD sekaligus pengusaha tekstil, lo bilang nggak elit?”tanya Via membuat Gabriel mendecak. Ia selalu sebal jika dikait-kaitkan dengan orangtuanya. “tadinya gue pikir lo salah masuk sekolah, dan bisa pindah kapan pun lo mau. Tapi lo ada disini selama dua tahun. Itu aneh”

Via melirik lagi Gabriel yang masih menatap lurus ke depan, lalu mengedikan bahu

“lo nggak mau cerita, itu hak lo”lanjut Via. “tapi gue punya teori sendiri tentang keberadan lo di sini. Lo mau denger?”

Gabriel menoleh, sedikit tertarik dengan kata-kata Via

“apa teori lo?”tanyanya sementara Via tersenyum senang

“gue udah denger soal lo sama Rio kemarin. Semua orang ngomongin itu”kata Via membuat Gabriel menyernyitkan dahi”dan teori gue, lo ada disini karena dia”

Gabriel menatap Via lama, lalu kembali tertarik pada atap rumah di depannya

“teori lo masih terlalu luas”komentar Gabriel, tanpa ingin memberitahu anak perempuan di sampingnya ini lebih banyak

“oh ya? Kalo gitu gue persempit. Kalian dulu satu SMP”kata Via membuat Gabriel menoleh cepat dan menatapnya tak percaya “dulu kalian sahabat baik. Tapi karena satu hal, kalian jadi berantem. Dan mempertimbangkan sikap Superman lo, lo sengaja keluar dari sekolah unggulan dan masuk sekolah ini untuk dia. Gue salah?”

Gabriel menatap Via lama, lalu mendesah, ia tak menyangka Via bisa tahu tentang masa lalunya dengan Rio.

“dari mana lo tau?”tanya Gabriel akhirnya

“dulu klien gue temen SMP lo”jawab Via cuek. “dia banyak omong, tapi gue Cuma inget bagian dia nyebut-nyebut Rio. Dan yang bikin gue tambak tertarik, nama lo juga muncul”

Gabriel mengangguk-angguk”dunia memang sempit”

“yep”kata Via “tadinya gue nggak peduli soal ini, tapi karena tadi lo dengan baik hati menggagalkan usaha bunuh diri gue, mau nggak mau gue inget”

Gabriel terkekeh sebentar, lalu dalam beberapa detik ia kembali murung. Via menatapnya lagi.

“jadi? Kenapa kalian bisa berantem kayak gini?”tanya Via, membuat Gabriel menatapnya dengan dahi menyernyit. “oh, ayolah. Gue udah ngasih teori sejauh itu, apa susahnya lo kasih jawabannya?”
Gabriel terdiam sebentar, lalu mendesah.

“lo tau tentang bokap Rio yang masuk penjara?”tanya Gabriel membuat Via mengangguk. “dari situ awalnya”

Via tampak serius mendengarkan “terus?”

“semua orang disekolah ngejauhin dia karena itu. termasuk gue”kata Gabriel lagi, matanya sudah menerawang. “bokap gue bilang, Rio itu anak napi. Dia bisa aja mewarisi sifat-sifat jahat bokapnya.bokap gue bilang gue nggak boleh berteman lagi dengan Rio, apa pun alasannya. Lo tau kan karena apa?”

image?” jawabVia setelah berpikir beberapa detik

“tepat. Bokap gue nggak peduli gimana Rio menderita di sekolah. Nggak, punya teman, nggak punya guru untuk membela dia, nggak punya orangtua lagi”rahang Gabriel mengeras.”dan selama itu, gue Cuma nonton dia dari jauh. Nonton dia diejek ‘Anak Napi’ sama semua orang. Sesuai perintah bokap gue, gue jauhin dia. Seperti semua orang”

Gabriel mengambil jeda sejenak untuk mendesah

“gue masuk SMA yang disuruh bokap gue, SMA unggulan. Sedangkan Rio? Masuk sekolah buangan, satu-satunya sekolah yang mau nerima dia”lanjut Gabriel lagi. “tapi selama itu juga, gue menderita. Gue merasa bersalah. Gue tau nggak seharusnya ngejauhin dia, tapi gue tetep ngejauhin dia”

Via mengangguk-angguk paham. Untuk seorang Gabriel yang kadar kepahlawanannya tinggi, pasti akan sangat berat sekolah di sekolah bagus sementara sahabatnya terlantar di tempat seperti ini.

“suatu hari gue baca berita dikoran kalau Rio teribat tawuran antar sekolah, dan saat itu juga gue mengambil keputusan untuk pindah kesekolah ini”kata Gabriel lagi. “bokap gue ngamuk, tapi gue ngancam gue akan berhenti sekolah kalo nggak pindah kesini. Gue nggak peduli lagi. Gue nggak peduli apa kata bokap gue. gue nggak peduli image bokap gue. yang gue peduliin Cuma gimana caranya biar Rio maafin gue”

“dan lo belum berhasil sampe sekarang?”kata Via. Gabriel mengangguk

“gue tau nggak bakal segampang itu”desah Gabriel.”dia udah dendam banget sama gue. Gue satu-satunya orang terdekatnya, dan gue malah pergi. Gue paham kalo dia nggak bakal maafin gue. tapi seenggaknya gue usaha”

“dengan mengorbankan segala potensi lo”timpal Via, tampak takjub”wow”

“gue nggak tau dengan cara apa lagi harus menebus dosa gue”lanjut Gabriel “gue bisa bilang, gara-gara gue Rio jadi kayak sekarang ini”

Via mengangguk-angguk sementara Gabriel menoleh

“lo pasti nggak tau, kalo Rio dulunya jenius”

Via kembali tertarik “Rio? Jenius?”

Gabriel mengangguk “dia bisa masuk sekolah kami dengan beasiswa silang. Di tahun pertama, dia juara pertama. Mengalahkan gue”

Via menganga “serius lo?”

“awalnya gue nggak suka sama dia, tapi lama-lama gue sadar kalo dia orang yang patut gue contoh. Kami bersaing sehat, dan semenjak itu juga kami memutuskan untuk bersahabat dan bikin janji di masa depan”Gabriel kembali menerawang”tapi gue menghancurkan segalanya”

Via sama sekali tak bisa membayangkan Rio di masa SMP yang pintar dan ceria, tanpa harus memukul siapapun yang menabraknya dengan tongkat baseball. Via lantas membayangkan Gabriel dan Rio saling rangkul dan berjalan riang ke kantin, tapi ia segera menggeleng-gelengkan kepala.

“kayaknya gue berbakat jadi penulis skenario sinetron “kata Via membuat Gabriel menatapnya penuh minat. Via nyengir “ah, lupain aja”

Gabriel masih memperhatikannya. Selama dua tahun bersekolah di sini, baru kali ini ia mengobrol dengan Via. Ia bahkan tidak ingat apa pernah menyapa selamat pagi. Ia pikir Via adalah anak perempuan yang sombong dan punya dunianya sendiri, tapi rasanya ia salah

“lo tau, kalo lo emang ngerasa punya suatu bakat, lo harus kembangin itu.”kata Gabriel kemudian

Via menyernyit “buat apa?”

“yah. Buat masa depan lo”jawab Gabriel membuat Via tersenyum simpul

“masa depan ya..”Via menerawang “entah gue punya masa depan atau nggak”

“semua orang punya masa depan”kata Gabriel “apa yang kita lakukan sekarang menentukan masa depan kita nanti”

“oh, kalo gitu gue ada gambaran tentang masa depan gue”Via menatap Gabriel yang ingin tahu “full time PSK?”

Gabiel bengong sesaat mendengar jawaban Via, lalu ikut terkekeh

“gue pikir lo mau bikin sinetron”kata Gabriel geli “lo kan tadi bilang punya bakat ke situ”

Via hanya nyengir mendengar kata-kata Gabriel. Beberapa saat kemudian, cengirannya pudar

“itu Cuma mimpi”katanya pelan, membuat Gabriel kembali menatapnya

“mimpi juga bagus”kata Gabriel “kita bisa mengejar mimpi kita untuk masa depan kita”

“mimpi itu nggak nyata”tukas Via dingin. Ia lalu balas menatap Gabriel “kita hidup dalam kenyataan, Gab. Gue nggak bisa bertahan hidup hanya dengan bermimpi”

Gabriel terdiamm sementara Via bangkit dan membersihkan roknya. “udah masuk tuh”kata Via lagi “ketua OSIS nggak mungkin bolos, kan?

Via nyengir, lalu melangkah menuju tangga. Beberapa saat kemudian, ia sudah tak terlihat lagi.

Gabriel menghela napas. Ia bukannya tidak tahu kalau ada begitu banyak anak di sekolah ini yang sudah kehilangan harapan, seperti Via. Yang membuat Gabriel kesal adalah, kata-kata Tama semuanya benar

**